Aku berjalan menyusuri setapak yang kini
basah. Hujan telah membasahi jalan kenangan yang dulu selalu kulewati dengan
tawa. Tak ada lagi seseorang yang menemaniku berjalan melewati jalanan panjang
ini. Sepi, sunyi dan senyap.
Tujuh hari sudah kulewati hari-hari ini tanpa
bayangannya lagi. Mimpi dan angannya terbang bersama jiwanya yang sudah tenang
di alam sana. Aku tersenyum di depan pusara yang kini kusentuh.
“ Alfi, gimana kabar kamu? Kamu seneng kan di
sana? Kakak kangen sama kamu, jaga diri kamu baik-baik ya, “ aku mulai
menitikkan air mata di pembaringan terakhir sahabatku. Aldista Alfi Riana.
Sahabat yang meninggalkanku tanpa pernah kuduga. Hanya penyesalan yang kurasa
kini. Tak seharusnya aku melewati saat-saat terakhir bersamanya dulu.
Aku tak pernah tahu apa yang ada dalam
dirinya. Perempuan yang selalu ceria itu tak pernah menampakkan kesedihan di
raut wajahnya. Akupun tak pernah menyadari bahwa ada yang lain dalam dirinya.
Jauh di dalam dirinya ada satu hal yang membuatnya tak bisa bertahan
menemaniku. Ingatanku kembali terbang ke masa-masa kita bersama dulu.
Alfi terus berlari mengejarku. Dia tak pernah
bisa menang jika harus mengejarku lari. Aku selalu saja bangga karena aku bisa
mengalahkannya. Kulihat sebersit senyum terlihat di wajahnya. Deretan gigi yang
tersusun rapi itu selalu nampak jika dia tersenyum. Aku tak pernah bisa
berhenti mengacak rambutnya jika dia sedang tersenyum seperti itu.
“Iiiihhh kakak! Rese banget sih, rambutku
berantakkan nih jadinya!” Alfi menampakkan wajah cemberutnya yang kontan
membuatku tertawa.
“Hahahaha, sumpah deh fi, lucu banget tampang
kamu kalo lagi gitu. Sini deh ngaca dulu, kayak badut ancol kamu! Hahahhaa, “
tak hentinya aku meledek Alfi. Sebelum dia mencubitku aku langsung lari menjauhinya.
Dia mengejarku sampai ke rumah.
“Sampe kapanpun kamu nggak bakal menang lawan
aku Alfi sayang, hahaha” ledekku padanya.
“Awas aja, pasti nanti aku bisa ngalahin
kakak, huuh” Alfi langsung menghempaskan tubuhnya disebelahku.
Kupandangi wajah Alfi yang nampaknya sedikit
pucat. Tak biasanya dia seperti ini. Dia yang sadar sedang kuperhatikan
langsung menegurku.
“Kakak kenapa sih? Liat Alfi ampe segitunya!”
lamunanku langsung pecah mendengar suara Alfi.
“Kamu sakit de? Muka kamu pucat gitu,
kenapa?” tanyaku penuh selidik padanya.
“Ehh nggak ah kak, biasa aja juga. Perasaan
kakak aja kali, udah dulu ya aku mau pulang salam buat om sama tante, ampe
ketemu lain waktu yaa kak. I will miss you so much,” Alfi langsung bangkit dan
mencium pipiku. Dia berlari keluar rumah dan menghilang.
Aku masih saja melamun melihat kelakuan aneh
anak itu. Tak biasanya dia seperti ini, apalagi sampai mengatakan i will miss
you so much. Ada apa dengan Alfi? Seiring dengan pertanyaanku yang begitu
banyak aku pun mulai tertidur di sofa.
Paginya aku menunggu Alfi datang. Seperti
biasa aku pasti jalan-jalan dengannya. Namun 3 jam berlalu, sosok Alfi tak juga
muncul di gerbang rumahku. Aku mulai bertanya-tanya, kemana dia? Kuputuskan
untuk mendatangi rumahnya yang tidak begitu jauh dari rumahku.
Kulihat gerbang rumahnya dikunci, tak ada
tanda-tanda orang di rumah itu. Aku berteriak memanggil Alfi beberapa kali,
namun tak juga ada jawaban dari dalam. Kuputuskan untuk kembali ke rumah.