Pernahkah kamu kehilangan seseorang
yang sangat berharga di hidupmu? Yang kemudian membuatmu sangat merindukan
setiap detik yang kau lewati bersamanya. Bagaimana rasanya? Sedihkah? Aku tak
bisa menggambarkan apa yang kurasakan sekarang dan hanya hujanlah yang bisa
mewakili setiap sakit yang kurasa. Dari setiap tetesan air yang mengguyur bumi
ini bisa menggambarkan betapa sedihnya aku kehilangan orang yang selama ini
menjadi sandaranku ketika aku terjatuh dan terpuruk.
Euforia hujan masih terus mengikutiku
dan menjadi bayangan dalam setiap langkahku. Entah ketika aku bersama
orang-orang yang berusaha membahagiakanku ataupun ketika aku sendiri, hujanpun
masih terus menyita perhatianku ketika dia datang membawa kembali kesedihanku
di masa lalu.
“Mau sampai kapan lu terus diem gini Nay?
Lu jangan bikin gue khawatir dong,” suara itu datang dari arah pintu kamarku. aku
sudah paham siapa pemilik dari suara yang harus kuakui cukup merdu itu. Dia yang
selama ini mencoba membuatku bangkit dari masa laluku, mencoba membuatku
melupakan setiap kisah yang menyayat hatiku. Namun, dengan sekuat apapun dia
mengalihkanku dari kisah kelam yang pernah kulalui, hatiku masih juga belum
mampu untuk bangkit.
“Lu nggak bosen terus-terusan dateng
ke sini cuman buat nanya gitu? Nggak usah buang waktu buat hal yang nggak
penting deh. Lu udah tau kan jawaban gue pasti sama, gue akan terus begini
sampai waktu yang nggak ditentukan,” ucapku sambil terus memandang awan yang
mulai mendung dari balik jendelaku.
“Nayla tolong, nggak ada gunanya lu
terus seperti ini, justru ini akan menyiksa diri lu sendiri. Apa lu mau dia
sedih di sana kalo tau lu gini? Apa lu mau Bimo merasa bersalah?” Mendengar
nama itu mendadak hatiku berdesir. Kurasakan pelupuk mataku yang mulai membasah
karena tak sanggup lagi membendung airmata yang selalu kutahan. Sekarang
bentengku rapuh. Benteng yang kucoba bangun setelah kepergian Bimo rapuh hanya
karena aku mendengar namanya disebut lagi? Ya Tuhan, inikah rasanya masih belum
mampu menerima kenyataan dariMu?
“Cukup Rangga cukup! Gue bisa terima lu
maksa masuk ke kehidupan gue, mencoba bawain gue pelangi biar hidup gue lebih
berwarna, gue bisa terima itu Ngga! Tapi lu nggak akan bisa ngerti gimana Bimo
ngasih begitu banyak warna dibanding lu, sampai semua warna yang dia kasih
tiba-tiba berubah hitam dan hanya menyisakan hujan. Lu nggak akan pernah tau
gimana rasanya itu Ngga!” ucapku disela-sela airmataku.
“Nayla, gue nggak akan pernah tau kalo
lu sendiri nggak ngijinin gue buat lebih memahami lu,” Rangga mencoba menggali
sedikit sadarku yang masih tersisa. Aku terdiam mendengar perkataannya. Tak
bisa mengerti apa yang harus kukatakan lagi. Bersamaan dengan itu hujan
perlahan mulai muncul dengan derasnya, membawaku ke bayangan setahun yang lalu.
***
“Bimo udah dong ayo balik, kamu nggak
liat langit udah gelap?” rengekku untuk kesekian kalinya pada Bimo. Namun, dia
masih berdiam mematung menatap lurus ke depan. Entah apa yang sedang dia
pikirkan. Tak biasanya dia seperti itu.
“Kamu dengerin aku nggak sih? Aku tuh
cape daritadi ngomong tapi nggak ditanggepin Bim,”
“Maaf Nay, maaf banget,” Bimo
membalikan badannya menatapku kemudian tiba-tiba memelukku. Aku masih bingung
dengan sikapnya.
“Kamu kenapa? Ada yang kamu pikirin?”
“Nggak aku nggak apa-apa kok. Aku
cuman masih pengen di sini sampe hujan. Aku pengen nikmati hujan ini bareng kamu,
mau kan?” Bimo menatapku penuh harapan.
“Yaudah aku mau temenin kamu, tapi
janji nanti kalo hujannya udah reda kita pulang ya?” kusandarkan kepalaku ke
bahunya. Rintik demi rintik hujan mulai berjatuhan membasahi dedaunan yang kini
terlihat lebih segar.
Perlahan kutemukan kenyamanan diantara
Bimo dan hujan. Perlahan aku mulai mengerti kenapa Bimo sangat mengagumi hujan.
Di tengah hujan aku bisa menemukan ketenangan dan kedamaian.
***
“Nay, lu ngelamun?” suara itu mengagetkanku.
Seketika aku tersadar dari lamunanku tentang Bimo. Kulangkahkan kakiku ke sudut
kamarku, mengambil sebuah bingkai foto yang sebenarnya ingin kusimpan jauh
dalam kenanganku.
“Ngga, apa salah kalo gue masih
ngarepin semua bisa balik kayak dulu lagi? Apa salah kalo gue masih berharap
Bimo ada di sini sekarang?” mataku tak beralih dari foto dibalik bingkai itu.
Terlihat dua pasang mata yang menyorotkan kebahagiaan. Aku selalu ingat, foto
itu diambil seminggu sebelum semua kejadian itu terjadi. Kejadian yang membuat
hidupku terasa berhenti seketika.
“Nggak ada salahnya Nay, cuman gue mau
lu jangan berharap sesuatu di luar akal sehat lu. Gue tau lu sayang banget sama
Bimo. Gue tau lah gimana perjuangan Bimo buat bertahan sama lu, gitu juga
sebaliknya. Tapi hidup lu nggak akan stay di sini aja Nay. Masih banyak yang
ngarepin lu balik jadi Nayla yang dulu. Nyokap bokap lu, sahabat lu, gue juga.
Ya kalopun lu nggak mau move on demi gue paling nggak lu mesti move on demi
keluarga lu,” Rangga memelukku, mencoba memberikan ketenangan untukku.
Hujan terus turun dengan derasnya.
Mungkin hujan mengerti tentang aku yang masih dirundung sepi. Tentang aku yang
masih merindukan masa laluku. Tentang aku yang kini semakin merasa tak berarti.
“Kapanpun lu butuhin gue, gue akan ada
di samping lu Nay. Sampai saatnya nanti dateng gue janji gue bakal bahagiain lu
ngelebihin yang Bimo kasihin,” aku bisa mendengar dengan jelas bisikan Rangga
tersebut di tengah gemuruhnya hujan.
***
Kupikir sekarang bukan saatnya musim
hujan. Tapi sepertinya hujan masih senang bermain-main di tengah hiruk pikuk
perkotaan saat ini. Kupalingkan wajahku ke orang di sebelahku. Dia tampak sibuk
dengan laptop yang terdapat di depannya. Kulirik ke layar laptopnya. Aah, dia
masih saja sibuk membuat laporan yang tak kunjung usai. Kualihkan lagi
pandanganku ke jendela kaca yang mulai berembun. Burung-burung terbang tak
beraturan mencari tempat yang aman untuk mereka. Angin mulai meniup daun-daun
di pepohonan yang membuatnya bergoyang. Sesekali kilatan oranye menunjukan
kehebatannya.
“Bimoooo, masih lama yaa? Aku cape
nungguin terus nih,” rajukku kepada kekasihku tersebut.
“Sabar sayang, sebentar lagi selesai
kok,” benar saja beberapa menit kemudian dia mematikan laptopnya yang bisa dibilang
pacar keduanya. Menyebalkan.
“Maaf ya udah buat kamu nunggu,”
ucapnya sembari mengusap lembut kepalaku. Aku selalu menyukai perlakuannya
tersebut. Senyumku ikut mengembang ketika dia memegang tanganku, berusaha
memberiku tanda bahwa dia tak ingin kehilanganku.
“Aku selalu suka saat seperti ini,
saat hujan mulai membasahi bumi,” ucap Bimo.
“Kenapa? Bukankah itu membuat kita
menunda aktifitas kita? Udah gitu kalo kelamaan hujan bisa-bisa malah jadi
banjir,”
“Iya sih, tapi hujan juga punya banyak
manfaat. Tanah yang gersang jadi subur karena hujan, tanaman yang layu jadi
segar. Udah gitu aku selalu punya alasan untuk tetap di sampingmu saat hujan
turun,” ucapannya itu membuatku menoleh dan memandangnya penuh makna. Lelaki
ini, yaa, dia yang merubah semua pandanganku tentang hidup. Dia yang merubah
segala pikiranku tentang hujan. Dia yang membuatku menyukai hujan dan segala
hal yang tercipta dari awan mendung itu.
“Tetap di sampingku ya Bim. Aku mau
ngeliat pelangi setelah hujan sama kamu, seperti yang kamu janjikan,” ucapku.
“Iya sayang, aku janji,” bersamaan
dengan itu dia cium keningku untuk meyakinkanku.
***
Sinar matahari masuk ke seluruh sudut
kamarku. Membuatku terbangun dari tidurku yang cukup menguras emosiku.
Lagi-lagi mimpi tentangnya hadir dalam tidurku.
Kurenggangkan badanku mencoba
menyesuaikan dengan cuaca pagi itu. Nampaknya hari ini tak akan ada hujan.
Syukurlah, mungkin itu lebih baik. Membuatku tak mengingat Bimo sejenak.
Terdengar suara ramai di luar kamarku.
Rasa penasaran membuatku bangkit dari tempat tidurku dan keluar kamar. Kulihat
orangtuaku dan adiku sedang bercengkerama dengan Rangga. Ah, pria itu.
Sebenarnya dia sangat baik, sangat perhatian padaku. Tapi aku masih juga belum
mampu membuka hatiku untuknya, padahal semua anggota keluargaku terlihat sudah
begitu akrab dengannya.
“Eh kak Nayla udah bangun, sini kak
ada kak Rangga. Dia beliin Chika mainan lhoo,” oceh adik kecilku itu.
“Ngapain lu pagi-pagi udah nongkrongin
rumah gue?” tanyaku tak menghiraukan ucapan Chika.
“Gue khawatir sama lu, kemarin keadaan
lu nggak stabil, lu pucet gitu terus pingsan. Makanya sekarang gue dateng ke
sini buat mastiin keadaan lu doang dan gue pikir sekarang lu udah baikan,”
“Apa kata lu? Gue pingsan?” tanyaku
heran.
“Iya, kemarin. Abis lu nangis tau-tau
lu pingsan,” mendengar ucapan Rangga tersebut aku berusaha mengingat kejadian
semalam. Tapi yang kuingat hanya, aku bersandar pada Rangga kemudian semua
ingatan sesudahnya aku lupa. Mungkin memang benar aku pingsan.
“Kamu sarapan dulu gih Nay,” ucap bundaku.
“Nggak deh bun, aku mau ke kamar lagi
aja,” kemudian aku melangkah pergi dari mereka dan kembali mengasingkan diri di
kamar. Kutatap awan lewat jendela kamarku. Di situ aku bisa sedikit menemukan
kedamaian. Menemukan sisi Bimo yang hilang dariku. Dan memori itu terulang
kembali di otakku.
***
“Tuh kan ngelamun lagi,” ucapku pada
Bimo yang sedari tadi diam dengan tatapan kosong.
“Maaf maaf, aku cuman....”
“Cuman apa?”
“Ah nggak kok, aku cuman kangen sama
kamu,” ucapnya kemudian memelukku.
“Bimo, kamu nggak bohong kan?” tanyaku
penuh selidik.
“Nggak sayang, aku nggak bohong kok,”
ucap Bimo dengan tersenyum.
“Lihat deh, hujan turun lagi,”
kemudian Bimo melangkahkan kakinya menuju balkon kamarku dan duduk memandang
langit. Dia memang senang memandang langit dari kamarku, katanya itu terlihat
indah. Aku sendiri tak mengerti apa yang dia katakan. Kupikir dilihat dari sisi
manapun langit akan tetap sama.
“Kalo kamu kangen sama aku, kalo kamu
lagi pengen ditemenin aku, kamu lihat aja langit dari sini. Tapi lihatnya pas
lagi hujan ya Nay, biar aku dateng nemenin kamu dan ngeliat pelangi bareng sama
kamu,” ucapan Bimo tersebut membuatku kaget.
“Maksud kamu apa sih? Aku nggak
ngerti,”
“Nggak apa-apa kok Nay, aku sayang
kamu,”
“Iya Bimo sayaaang, aku juga sayang kamu,”
ucapku sambil memeluknya.
***
Suara Rangga mengagetkanku dan
mengalihkan perhatianku dari jendela. Kulihat dibawanya sebuah kotak dan
diletakkannya di atas tempat tidurku.
“Apa itu?” tanyaku.
“Lihat saja sendiri,”
Kubuka kotak yang Rangga bawa dan melihat
isinya. Aku sedikit terkejut dengan isi dari kotak tersebut. Sebuah boneka yang
pernah Bimo janjikan untukku dan..sebuah surat terlihat di dalamnya. Kulihat
wajah Rangga mencoba memastikan.
“Itu untukmu, bacalah,”
Dear Nayla,
Happy Anniversary
second year dear, and happy birthday to us. Semoga ini semua bisa mewakili
semua perasaan yang kupendam dan kutahan selama ini. Aku nggak tau harus dengan
apa aku mengungkapkannya. Aku sangat tak ingin menyakiti perasaanmu dan
melihatmu bersedih di depanku ketika aku mengungkapkan semuanya.
Sebelumnya
maaf karena seharusnya aku memberikanmu boneka setahun yang lalu, saat dimana
seharusnya kita merayakan hari jadi kita. Saat dimana seharusnya aku datang
menemuimu tapi aku mengingkarinya. Maafkan aku tak bisa menepati janjiku.
Aku ingin
kamu tau, sebelumnya, sebelum aku menulis surat ini aku merasakan sebuah
firasat yang mungkin pertanda aku akan dijemput untuk meninggalkanmu sebelum
aku bisa membahagiakanmu. Bisa dibilang surat ini jaga-jaga jika seandainya firasatku
terbukti benar.
Kematian
seseorang bisa datang kapan saja, kau tau kan? Pada siapa saja dan dimana saja
tentunya. Dan jika itu terjadi padaku, disaat itulah aku tak bisa melindungimu
dengan ragaku. Tapi satu yang harus kau mengerti, aku akan terus menjagamu di
sini, di surga.
Jika suatu
hari nanti aku meninggalkanmu dan tak bisa menemanimu di dunia berjanjilah
padaku untuk tetap menjadi Nayla yang selalu kucintai. Kucintai karena
kebaikannya, keceriaannya, kelucuannya. Yang kucintai karena tak pernah
mengeluh dan selalu memberikan kebahagiaan untuk orang-orang disekitarnya.
Tetaplah
jadi Nayla yang mengagumi hujan, sama sepertiku. Bukankah kamu ingin melihat
pelangi setelah hujan? Jika kau ingin melihatnya satu yang perlu kau lakukan,
tersenyumlah menjalani harimu, walaupun kamu terluka, walaupun kamu jatuh,
tetaplah tersenyum, karena dengan itu kamu akan melihat pelangi setelah hujan.
Satu lagi
yang perlu kamu tau, saat ini kukira ada seorang pria di sampingmu. Kuharap dia
Rangga. Karena dengannya aku titipkan bidadari surga yang sangat kucintai ini.
Karena aku yakin dia mampu memberikan begitu banyak kisah tentang hujan dan
akan melukiskan begitu banyak warna melebihi pelangi yang selalu kau idamkan.
Tapi jika bukan, siapapun pria itu kuharap dia yang terbaik untukmu. Yang mau
mencintai kekuranganmu dan membawamu lebih dekat denganNya.
Aku
mencintaimu, Nayla.
Airmataku tak mampu kutahan lagi. Aku
sangat mengenal tulisan tangan itu. Bimo, inikah maksudmu? Maksud dari semua
perkataanmu malam itu? Bimo, maafkan aku.
***
“Selalu aja kamu sibuk sana sini,
nggak ada waktu luang buat aku emangnya? Aku ini pacar kamu apa bukan sih?”
keluhku dengan Bimo di seberang sana.
“Nayla, tolong dong ngertiin aku.
Kerjaan aku lagi banyak. Kamu jangan kayak anak kecil gini deh,”
“Kamu pikir selama ini aku nggak
ngertiin kamu? Terus aku sabar tiap kamu ada kerjaan kamu anggep apa? Angin
lalu gitu?” protesku lewat telepon.
“Yaudah aku ngalah, mau kamu apa
sekarang?”
“Kamu ke rumah sekarang!”
“Oke, aku ke rumah sekarang, tunggu
aku,”
Benar saja. Sejam kemudian terdengar
suara motor Bimo masuk ke halaman rumah. Aku segera keluar dari rumah dan
menemuinya.
“Maafkan aku ya,” ucap Bimo kemudian
mencium keningku.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Maaf karena udah buat kamu marah,”
aku tak mampu mengatakan apapun. Pria ini, iya dia yang tadi membuatku kesal
ditelepon dan sekarang dia datang hanya untuk membuatku merasa senang padahal
aku mengerti dia jelas-jelas mengorbankan pekerjaannya agar aku tak marah
padanya. Aku terlalu egois. Perlahan airmataku mulai menetes.
“Hei kamu kenapa? Kok nangis?”
“Aku egois Bim, aku maksa kamu dateng
padahal kamu lagi sibuk kerja. Aku terlalu memaksakan keinginanku padamu,
maafkan aku,” ucapku sambil memeluknya.
“Udahlah, kamu nggak salah kok. Akunya
juga yang terlalu sibuk sampe-sampe kamu merasa terlupakan, maafkan aku ya,”
Malam itu, mendadak dingin
menyelimutiku. Sepertinya hujan akan kembali mengguyur kotaku. Benar saja,
gerimis mulai berdatangan. Kulihat Bimo bangkit dan menatap langit dengan
cemas.
“Aku pulang dulu ya? Udah mau hujan,”
“Kamu nggak mau nunggu hujan reda?
Bukannya kamu selalu bilang hujan selalu membuatmu bisa lebih lama bersamaku?”
“Iya, tapi sekarang udah malem. Aku
nggak enak, aku mau kamu istirahat. Aku janji besok aku ke sini lagi, ngerayain
hari jadi kita sayang. Aku pulang dulu ya,” kulihat Bimo mulai pergi menjauh.
Entah hanya firasat atau apa, aku sedikit tidak rela Bimo pergi.
Dua jam berlalu tapi Bimo masih belum
memberi kabar padaku semenjak dia
pulang. Aku mulai khawatir. Di tengah rasa khawatirku terdengar bunda
memanggilku.
“Nayla, Bimo Nay Bimo,” ucap bunda
cemas.
“Kenapa bun?” tanyaku.
“Sabar ya sayang, Bimo udah nggak ada,
Bimo meninggal,”
“Nggak! Nggak mungkin Bunda, baru tadi
kan dia ke rumah. Bunda pasti becanda kan,” ucpaku tak percaya.
“Bener sayang, bunda dapet kabar dari
kakaknya Bimo tadi,”
Mendengar kabar tersebut aku langsung
pergi ke rumah Bimo. Perasaanku sudah tak karuan. Ketika aku tiba di sana aku
langsung disambut dengan pelukan ibu Bimo.
Kutanya apa yang sebenarnya terjadi,
dan betapa lemasnya aku ketika aku mengetahui yang sebenarnya bahwa dia meninggal
karena kecelakaan dan jelas bahwa dia kecelakaan karena menemuiku.
Kulihat jenazah Bimo terbaring tak
berdaya di depan mataku. Tapi tampak senyum tergambar di wajahnya. Aku yang
sudah tak bisa menahan sedihku kemudian menghampirinya.
“Bbbbiiimmmooooooo.....” teriakku
disela tangisanku.
***
“Nay, sadar Nay sadar, lu nggak
apa-apa kan?” suara Rangga membangunkanku dari mimpiku.
“Ngga, gue mimpi ngga, gue mimpi
Bimo,” ucapku terengah-engah.
“Tenangin diri lu Nay,” kata Rangga
sambil menghapus keringatku.
“Gue udah salah banget selama ini.
Nggak seharusnya gue kayak gini. Ini justru ngebuat Bimo sakit yah Ngga?
Harusnya gue bisa tegar ngadepin kepergian Bimo,” ucapku terisak.
“Syukurlah kalo lu sadar Nay, gue
nggak mau ngeliat lu sedih mulu. Lu mesti kuat yah,”
“Thanks ya Ngga, lu udah sabar banget
ngadepin gue. Gue sekarang sadar gue udah salah banget sama lu. Lu nggak salah
apa-apa malah gue nggak mempedulikan lu,”
“Gue ikhlas kalo itu semua buat lu
kok,” ucapnya tersenyum.
Di mulai dari hari itu,
semua hidupku kembali normal. Satu persatu kebahagiaanku kembali datang.
Diiringi dengan derasnya hujan aku kembali tertawa. Bukan tawa getir seperti
yang biasa kutunjukan saat hujan menghiasi langit, tapi tawa bahagia karena aku
mulai bisa memaknai hidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang spam yaa :)