Minggu, 21 September 2014

Hujan

Maaf, karya ini untuk dibaca bukan untuk dibajak :)

Pernahkah kamu kehilangan seseorang yang sangat berharga di hidupmu? Yang kemudian membuatmu sangat merindukan setiap detik yang kau lewati bersamanya. Bagaimana rasanya? Sedihkah? Aku tak bisa menggambarkan apa yang kurasakan sekarang dan hanya hujanlah yang bisa mewakili setiap sakit yang kurasa. Dari setiap tetesan air yang mengguyur bumi ini bisa menggambarkan betapa sedihnya aku kehilangan orang yang selama ini menjadi sandaranku ketika aku terjatuh dan terpuruk.
Euforia hujan masih terus mengikutiku dan menjadi bayangan dalam setiap langkahku. Entah ketika aku bersama orang-orang yang berusaha membahagiakanku ataupun ketika aku sendiri, hujanpun masih terus menyita perhatianku ketika dia datang membawa kembali kesedihanku di masa lalu.
“Mau sampai kapan lu terus diem gini Nay? Lu jangan bikin gue khawatir dong,” suara itu datang dari arah pintu kamarku. aku sudah paham siapa pemilik dari suara yang harus kuakui cukup merdu itu. Dia yang selama ini mencoba membuatku bangkit dari masa laluku, mencoba membuatku melupakan setiap kisah yang menyayat hatiku. Namun, dengan sekuat apapun dia mengalihkanku dari kisah kelam yang pernah kulalui, hatiku masih juga belum mampu untuk bangkit.
“Lu nggak bosen terus-terusan dateng ke sini cuman buat nanya gitu? Nggak usah buang waktu buat hal yang nggak penting deh. Lu udah tau kan jawaban gue pasti sama, gue akan terus begini sampai waktu yang nggak ditentukan,” ucapku sambil terus memandang awan yang mulai mendung dari balik jendelaku.
“Nayla tolong, nggak ada gunanya lu terus seperti ini, justru ini akan menyiksa diri lu sendiri. Apa lu mau dia sedih di sana kalo tau lu gini? Apa lu mau Bimo merasa bersalah?” Mendengar nama itu mendadak hatiku berdesir. Kurasakan pelupuk mataku yang mulai membasah karena tak sanggup lagi membendung airmata yang selalu kutahan. Sekarang bentengku rapuh. Benteng yang kucoba bangun setelah kepergian Bimo rapuh hanya karena aku mendengar namanya disebut lagi? Ya Tuhan, inikah rasanya masih belum mampu menerima kenyataan dariMu?
“Cukup Rangga cukup! Gue bisa terima lu maksa masuk ke kehidupan gue, mencoba bawain gue pelangi biar hidup gue lebih berwarna, gue bisa terima itu Ngga! Tapi lu nggak akan bisa ngerti gimana Bimo ngasih begitu banyak warna dibanding lu, sampai semua warna yang dia kasih tiba-tiba berubah hitam dan hanya menyisakan hujan. Lu nggak akan pernah tau gimana rasanya itu Ngga!” ucapku disela-sela airmataku.
“Nayla, gue nggak akan pernah tau kalo lu sendiri nggak ngijinin gue buat lebih memahami lu,” Rangga mencoba menggali sedikit sadarku yang masih tersisa. Aku terdiam mendengar perkataannya. Tak bisa mengerti apa yang harus kukatakan lagi. Bersamaan dengan itu hujan perlahan mulai muncul dengan derasnya, membawaku ke bayangan setahun yang lalu.

***

“Bimo udah dong ayo balik, kamu nggak liat langit udah gelap?” rengekku untuk kesekian kalinya pada Bimo. Namun, dia masih berdiam mematung menatap lurus ke depan. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Tak biasanya dia seperti itu.
“Kamu dengerin aku nggak sih? Aku tuh cape daritadi ngomong tapi nggak ditanggepin Bim,”
“Maaf Nay, maaf banget,” Bimo membalikan badannya menatapku kemudian tiba-tiba memelukku. Aku masih bingung dengan sikapnya.
“Kamu kenapa? Ada yang kamu pikirin?”
“Nggak aku nggak apa-apa kok. Aku cuman masih pengen di sini sampe hujan. Aku pengen nikmati hujan ini bareng kamu, mau kan?” Bimo menatapku penuh harapan.
“Yaudah aku mau temenin kamu, tapi janji nanti kalo hujannya udah reda kita pulang ya?” kusandarkan kepalaku ke bahunya. Rintik demi rintik hujan mulai berjatuhan membasahi dedaunan yang kini terlihat lebih segar.
Perlahan kutemukan kenyamanan diantara Bimo dan hujan. Perlahan aku mulai mengerti kenapa Bimo sangat mengagumi hujan. Di tengah hujan aku bisa menemukan ketenangan dan kedamaian.

***