Jumat, 25 April 2014

Terlambat Menyadarinya

Maaf, karya ini untuk dibaca bukan untuk dibajak :)


Aku berjalan menyusuri setapak yang kini basah. Hujan telah membasahi jalan kenangan yang dulu selalu kulewati dengan tawa. Tak ada lagi seseorang yang menemaniku berjalan melewati jalanan panjang ini. Sepi, sunyi dan senyap.
Tujuh hari sudah kulewati hari-hari ini tanpa bayangannya lagi. Mimpi dan angannya terbang bersama jiwanya yang sudah tenang di alam sana. Aku tersenyum di depan pusara yang kini kusentuh.
“ Alfi, gimana kabar kamu? Kamu seneng kan di sana? Kakak kangen sama kamu, jaga diri kamu baik-baik ya, “ aku mulai menitikkan air mata di pembaringan terakhir sahabatku. Aldista Alfi Riana. Sahabat yang meninggalkanku tanpa pernah kuduga. Hanya penyesalan yang kurasa kini. Tak seharusnya aku melewati saat-saat terakhir bersamanya dulu.
Aku tak pernah tahu apa yang ada dalam dirinya. Perempuan yang selalu ceria itu tak pernah menampakkan kesedihan di raut wajahnya. Akupun tak pernah menyadari bahwa ada yang lain dalam dirinya. Jauh di dalam dirinya ada satu hal yang membuatnya tak bisa bertahan menemaniku. Ingatanku kembali terbang ke masa-masa kita bersama dulu.
Alfi terus berlari mengejarku. Dia tak pernah bisa menang jika harus mengejarku lari. Aku selalu saja bangga karena aku bisa mengalahkannya. Kulihat sebersit senyum terlihat di wajahnya. Deretan gigi yang tersusun rapi itu selalu nampak jika dia tersenyum. Aku tak pernah bisa berhenti mengacak rambutnya jika dia sedang tersenyum seperti itu.
“Iiiihhh kakak! Rese banget sih, rambutku berantakkan nih jadinya!” Alfi menampakkan wajah cemberutnya yang kontan membuatku tertawa.
“Hahahaha, sumpah deh fi, lucu banget tampang kamu kalo lagi gitu. Sini deh ngaca dulu, kayak badut ancol kamu! Hahahhaa, “ tak hentinya aku meledek Alfi. Sebelum dia mencubitku aku langsung lari menjauhinya. Dia mengejarku sampai ke rumah.
“Sampe kapanpun kamu nggak bakal menang lawan aku Alfi sayang, hahaha” ledekku padanya.
“Awas aja, pasti nanti aku bisa ngalahin kakak, huuh” Alfi langsung menghempaskan tubuhnya disebelahku.
Kupandangi wajah Alfi yang nampaknya sedikit pucat. Tak biasanya dia seperti ini. Dia yang sadar sedang kuperhatikan langsung menegurku.
“Kakak kenapa sih? Liat Alfi ampe segitunya!” lamunanku langsung pecah mendengar suara Alfi.
“Kamu sakit de? Muka kamu pucat gitu, kenapa?” tanyaku penuh selidik padanya.
“Ehh nggak ah kak, biasa aja juga. Perasaan kakak aja kali, udah dulu ya aku mau pulang salam buat om sama tante, ampe ketemu lain waktu yaa kak. I will miss you so much,” Alfi langsung bangkit dan mencium pipiku. Dia berlari keluar rumah dan menghilang.
Aku masih saja melamun melihat kelakuan aneh anak itu. Tak biasanya dia seperti ini, apalagi sampai mengatakan i will miss you so much. Ada apa dengan Alfi? Seiring dengan pertanyaanku yang begitu banyak aku pun mulai tertidur di sofa.
Paginya aku menunggu Alfi datang. Seperti biasa aku pasti jalan-jalan dengannya. Namun 3 jam berlalu, sosok Alfi tak juga muncul di gerbang rumahku. Aku mulai bertanya-tanya, kemana dia? Kuputuskan untuk mendatangi rumahnya yang tidak begitu jauh dari rumahku.
Kulihat gerbang rumahnya dikunci, tak ada tanda-tanda orang di rumah itu. Aku berteriak memanggil Alfi beberapa kali, namun tak juga ada jawaban dari dalam. Kuputuskan untuk kembali ke rumah.

     Begitu seterusnya hari-hari selanjutnya aku selalu menunggu Alfi di depan rumahku, namun lagi dan lagi dia tak juga datang menemuiku. Ada segelintir rasa khawatir dibenakku. ‘Apa yang terjadi padanya? Tuhan, tolong lindungi dia. Aku tak ingin dia terluka,’ ucapku dalam hati.
Keesokan harinya kuputuskan untuk mendatangi rumah Alfi. Kulihat seseorang sedang duduk di teras rumahnya. Setelah dekat baru kusadari bahwa orang itu adalah ayah Alfi.
“Selamat sore om, apa kabar?” sapaku.
“Eh kamu, kabar keluarga om sedang buruk nak,” ucap beliau lesu.
Aku nampak sedikit bingung. Aku tak tahu maksud dari Om Surya berkata seperti itu. Aku sedikit mengintip ke arah dalam, siapa tahu ada tanda-tanda Alfi di rumah. Namun kurasa hanya Om Surya yang berada di rumah bergaya minimalis ini.
“Memangnya kenapa om?” tanyaku hati-hati.
“Kamu nggak tahu? Alfi masuk rumah sakit nak,” kata Om Surya sedih.
“Apa? Alfi masuk rumah sakit? Kenapa om? Nggak ada yang ngasih tahu Vee kalau Alfi sakit,” aku terlihat panik mendengar kabar tersebut.
“Alfi dari kecil sudah sakit Vee. Dia terkena penyakit leukimia. Sekarang penyakit itu sudah menyebar ke seluruh tubuhnya dan sudah memasuki stadium akhir. Dokter bilang umur Alfi sudah tidak lama lagi. Saat ini dia sedang kritis Vee, om minta do’anya agar dia bisa selamat ya,” kulihat Om Surya mulai meneteskan airmata. Tak pernah kulihat ayah Alfi sesedih itu, padahal biasanya beliau selalu menampilkan ekspresi tegasnya di depan semua orang.
“Innalillahi wa innalillahi rojiun. Yang tabah ya om. Vee yakin Alfi pasti bisa melewati ini semua. Alfi anak yang kuat om, jadi om ngga perlu pesimis sama keadaan,” ucapku menghibur ayah Alfi.
Sesaat keadaan hening, hingga suara handphone milik Om Surya memecahkan keheningan.
“Hallo, iya kenapa dengan Alfi? Apa? Okeh ayah akan segera ke sana,” buru-buru Om Surya menutup telepon tersebut. Kulihat wajahnya panik.
“Kenapa om?” tanyaku ikut panik.
“Alfi sudah sangat kritis. Om harus ke sana,” ucap beliau.
“Vee ikut om,” kataku langsung.
“Baik, ayo kita harus segera ke rumah sakit,” kemudian aku dan Om Surya bergegas ke tempat Alfi dirawat.
Tak butuh waktu lama untuk sampai ke Rumah Sakit tersebut. Om Surya langsung berlari menuju ruangan Alfi. Aku masih diam di tempat, merasa tak percaya bahwa ternyata adik kecilku ini menderita penyakit yang amat sangat kejam. Namun, cepat-cepat aku membuyarkan pikiranku itu, aku langsung berlari menyusul Om Surya.
Ketika aku sampai di kamar Alfi, kulihat tubuhnya sudah ditutup selimut. Kedua orang tuanya dan kakaknya menangis. Perlahan airmataku mulai menetes, tak percaya dengan yang kulihat kini. Aku langsung mendekati Alfi dan memandangnya. Sungguh aku masih tak rela. Wajahnya terlihat sangat teduh. Senyum manisnya menghiasi wajahnya. “Apa aku mimpi? Nggak mungkin dia pergi ninggalin aku secepat ini. Alfi, kenapa kamu tega ninggalin kakak sendiri de? Kenapa kamu nggak pernah cerita sama kakak kalau kamu punya penyakit ini?” keluhku dalam hati.
Kini raganya sudah terkubur dalam tanah tersebut. Hamburan bunga terlihat memenuhi tempat peristirahatan terakhirnya. Aku masih duduk bersimpuh memandang gundukan tanah tersebut. Di bawah sini, sahabat setiaku, tempat curhatku, adik tercintaku dikuburkan.
Seusai penguburan jenazah Alfi aku langsung pulang ke rumah. Tadi sebelum aku pulang, Ibu Alfi menitipkan sepucuk surat dari Alfi untukku. Segera aku masuk ke kamar dan membuka surat tersebut.

Dear ka Vee,
Ka Vee sayang, maafin Alfi yaa udah bohongin kakak. Waktu kakak baca surat ini Alfi yakin Alfi udah nggak ada di dunia ini lagi. Udah nggak bisa nemenin ka Vee main lagi, nggak bisa kejar-kejaran sama kakak lagi. Maafin Alfi ya kak karena Alfi nggak pernah cerita apapun tentang penyakit Alfi sama kakak. Alfi tahu ka Vee pasti marah banget sama Alfi jadi Alfi minta maaf sama kakak. Alfi nggak mau ka Vee tahu karena Alfi nggak mau dianggap lemah sama kakak. Alfi pengen ka Vee bangga kenal sama Alfi.
Sekarang Alfi cerita deh ka. Alfi itu sakit leukimia. Kakak tahu kan? Kakak inget nggak dulu Alfi pernah tanya tentang leukimia? Alfi tanya gitu karena Alfi baru tahu kalo Alfi sakit ka. Waktu kakak jelasin itu semua Alfi nangis banget ka. Alfi takut bakalan ninggalin kakak, mamah, papah, ka Davin. Alfi takut sebelum Alfi pergi Alfi nggak bisa nyenengin semua orang yang kenal Alfi. Tapi karena kakaklah Alfi jadi semangat hidup. Makasih ya ka udah mau jadi kakak Alfi, walau cuman sebentar tapi Alfi seneng kok ka J
Udah dulu ya ka, Alfi mau istirahat. Alfi minta walaupun Alfi udah nggak bisa sama kakak tapi kakak jangan lupain Alfi ya ka? Janji ya J Tetep tersenyum ka, Alfi nggak mau kakak sedih terus-terusan. Alfi sayang kakak :*

Aku mulai menangis lagi. Bodoh sekali aku hingga tak menyadari sedari dulu bahwa dia sakit. Aku bahkan tak curiga sedikitpun saat dia tanya tentang leukimia. Oh Tuhan, bodoh sekali aku ini.
“Yaallah, jaga dia untukku. Tempatkan dia di surgaMu. Dia gadis yang baik. Sampaikan padanya bahwa aku juga menyayanginya,” ucapku lirih.
Aku tahu, ragamu memang sudah tak terlihat lagi. Akupun tahu kini takkan ada lagi yang bisa menemaniku sepertimu. Tenanglah dialammu. Aku takkan pernah melupakanmu Alfi.

3 tahun sudah kepergian Alfi. Namun, hingga kini aku masih belum bisa melupakannya. Aku masih belum bisa mendapatkan adik terbaik sepertinya. Kuharap Allah menjaga malaikat kecilku itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang spam yaa :)