Rabu, 14 Mei 2014

Sebuah Percakapan dengan Masa Lalu

Maaf, karya ini untuk dibaca bukan untuk dibajak :)


Pernah nggak kamu merasa kamu gagal dan nggak mampu bangkit melawan kegagalan kamu? Pernah nggak kamu berpikir akan terus terjebak dalam bayangan masa lalu tanpa pernah bisa terlepas dari kenangan-kenangan itu yang kadang justru buruk untuk hidupmu? Atau pernah nggak kamu menggantungkan tinggi-tinggi harapanmu pada seseorang kemudian tanpa pernah kamu duga harapan itu justru terlepas begitu saja dan kamu nggak bisa mempertahankannya untuk tetap tinggi atau sekedar tetap bertahan untuk kamu gapai?
Aku pernah. Bahkan pernah merasakan semua yang kupertanyakan. Aku pernah gagal dan nggak mampu bangkit. Aku pernah nggak bisa lepas dari kenangan masa lalu. Aku juga pernah menggantungkan harapan kemudian dihempaskan begitu saja.

***

“Kalo kamu sedih dan merasa gagal inget masih ada aku di sini yang bersedia berbagi kelelahan denganmu,” percakapan dimulai saat hujan dengan derasnya membasahi jalanan.
“Tapi kalo kamu kembali hanya untuk membuatku semakin jatuh jangan berharap itu bisa terjadi. Hatiku sekarang nggak selemah seperti ketika kamu meninggalkanku,”
“Kupikir kamu memang nggak pernah lemah, bahkan saat aku meninggalkanmu,”
“Aku memang nggak lemah. Kamu pikir aku akan terluka saat melihat kepergianmu? Tidak. Kamu bukan alasan terbesarku untuk bertahan di sini,”
“Lalu untuk apa kamu tetap bertahan? Untuk mengharapkanku kembali padamu dan menerimamu lagi?”

    “Aku hanya ingin kamu lihat bahwa tanpa kamu pun aku masih bisa berjalan seperti biasa, tanpa kamu pun aku masih bisa tertawa lepas seperti biasanya,”
“Apa kamu juga masih bisa menjalani hidupmu seperti biasa jika kukatakan aku sudah memiliki penggantimu?”
Seketika semua terasa berhenti. Hening tanpa ada gerakan satu pun. Entah darimana datangnya perasaan ini.
“Tentu. Karena kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga. Aku tak lagi mengharapkanmu untuk kembali padaku,”
“Lalu apa yang ingin kamu harapkan lagi dariku? Kamu berharap aku menjadikan kamu yang kedua? Jangan gila!”
“Jangan ngaco bodoh! Mana mungkin aku menginginkannya. Aku hanya berharap kamu nggak lagi menyakiti dia yang mencintaimu sama seperti yang kamu lakukan padaku dulu,”
“Jadi kamu pikir dulu aku menyakitimu?”
“Lalu dengan meninggalkanku saat aku benar-benar merasa nyaman denganmu apa namanya jika bukan menyakiti?”
“Aku hanya ingin kamu tau aku tak bisa lagi bersandiwara dengan berpura-pura mencintaimu. Aku tak ingin lagi membohongi perasaanku,”
“Jadi selama kamu bersamaku kamu hanya pura-pura mencintaiku? Kau hanya kasihan pada diriku?”
“Aku tak bermaksud seperti itu sungguh. Aku hanya tak ingin menyakiti perasaan orang lain,”
“Ah kamu memang selalu beralasan seperti itu. Dasar bodoh!”
“Berhenti memanggilku bodoh! Aku memang bodoh karena meninggalkanmu dulu, tapi itu aku lakukan untuk membuat kita menjadi lebih baik,”
“Kita katamu? Kupikir hanya kamu yang merasa lebih baik. Sementara aku? Aku harus berusaha memulihkan perasaanku yang telah kamu hancurkan!”
“Maakan aku jika itu sangat menyakitkanmu. Kumohon lupakan semuanya. Bukankah tadi kamu bilang kamu ingin tunjukan bahwa kamu biasa saja?”
“Aku memang ingin tunjukan bahwa aku biasa saja. Tapi aku belum mampu untuk memaafkanmu. Luka yang kamu berikan terlalu dalam,”
“Dengan cara apalagi aku bisa mendapatkan maaf darimu? Kau selalu keras kepala!”
“Aku hanya ingin kamu berhenti menyakiti orang-orang yang mencintaimu. Biarkan hanya aku yang terluka karena kelakuanmu, jangan orang lain,”
“Baiklah kalau itu yang kamu mau. Aku akan buktikan bahwa aku bisa menjaga dan menyayangi dia yang mencintaiku sekarang,”
***
Dan di saat dia yang pernah membuat semua lukaku tercipta hadir kembali, aku sadar. Aku sadar dia kembali bukan untuk kembali menjadikanku seperti dulu. Aku juga sadar dia hadir hanya untuk memberitahuku bahwa tak seharusnya aku terus terjebak dalam belenggu masa lalu yang terjadi karenanya. Dan aku semakin sadar bahwa memang cintanya bukan untukku.

Dia datang bukan untuk menawarkan sebuah posisi kosong dihatinya untuk kusinggahi, tapi dia menawarkan lebih dari itu. Memberikan sebuah posisi yang sangat berharga, lebih dari seorang teman, sahabat atau mantan kekasih. Dia memberikan posisi keluarga yang walau pun tak akan tercatat dalam kartu keluarganya J tapi setidaknya dia ingin kehadirannya kali ini membuatku memaafkannya dan berpikir bahwa tak selamanya orang yang menyakitiku adalah dia yang memang ingin menyakitiku. Untuk menyadarkanku bahwa tak seharusnya aku membencinya walaupun jelas-jelas dia telah membuat luka terdalam di hatiku yang bahkan sampai saat ini pun diam-diam aku masih mencoba memulihkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang spam yaa :)